16 March 2008

Mom, I Love You...


Mom, I Love You..
Hari ini bukan ulang tahunnya, bukan pula hari ibu, atau valentine...
Sekarang pukul 1:34, tanggal 16 Maret 2008. Baru saja aku browsing di warnet, dan menemukan sesuatu yang selama ini tak pernah terpikirkan. Tepatnya tak pernah benar-benar kupikirkan.

Ketika membaca postingan di blognya Bangli, kakakku paling tua (mr-cappuccino.blogspot.com), aku tertegun. Di situ aku menemukan postingan berjudul "Selamat Ulang Tahun Bunda". Aku tertegun, teringat betapa besar jasanya kepadaku. Sedangkan aku hanya bisa menyakiti hatinya, tak pernah membalas budinya. Bahkan mengingat ulang tahunnya pun tidak. Hatiku tergerak untuk menulis tentangnya.

Ini tentang ibu, dimana surga ada di telapak kakinya...

Ini tentang ibu, yang mana Rasulullah menyebutnya tiga kali sebelum menyebut ayah...

Selama ini, tak pernah terpikirkan olehku betapa durhakanya aku. Betapa ibuku ingin membahagiakan diriku. Betapa aku tak pernah membalas kebaikannya... Betapa tak tahu terima kasihnya aku... Betapa aku tak pandai menjaga perasaan wanita itu, yang kupanggil “mama”.

Sejak aku lahir, tak terhitung apa yg telah dilakukannya. Sepertinya tak perlu lagi membahas betapa besar deritanya ketika sembilan bulan aku jadi parasit dalam perutnya. Bukan hal yg baru bahwa jasanya begitu dahsyat ketika melahirkanku 19 tahun yang lalu, ketika pada suatu subuh ia merasakan sakit tak tertahankan pada perutnya. Dan selama dua tahun dia menyusuiku tanpa mengeluh, hanya dengan bekal kasih sayangnya. Itu semua memang jasa yang tak mungkin terbayarkan. Tapi aku ingin membahas kisah lain yang mungkin tak pernah terpikirkan oleh sebagian dari kita. Tentang apa yang dilakukannya untuk sekedar membahagiakanku...

Mungkin yang akan kuceritakan berikut ini hanya sebagian kecil dari apa yang sesungguhnya. Namun ini adalah gambaran betapa aku seharusnya mencintainya lebih dari apa yang kurasakan sekarang.

Dulu sekali, ketika aku kecil, penyakit asma ku sangat parah. Sekurang-kurangnya sebulan sekali penyakit itu mengunjungiku. Rasa sesak itu masih kuingat. Masih ingat aku betapa tidak enak tidur dengan posisi duduk, atau bantal yang ditinggikan, agar aku mudah bernapas. Masih ingat aku betapa aku menderita. Tapi pernahkan aku mengingat siapa yang ikut merasakan derita ku itu? Dialah ibuku.

Ketika aku tak bisa tidur pada malam-malam itu, dia ada di sisiku. Mengipasiku dengan kipas anyaman itu. Ketika dia tertidur dan kipasannya berhenti, aku merengek karena kepanasan. Ia kembali menggerakkan tangannya masih dengan mata tertutup, agar aku tak kepanasan. Sepanjang malam ia terjaga. Pagi harinya ia terpaksa tidak masuk kantor, menjagaku, meminumkanku obat, membawakan makanan ke tempat tidurku, membuatkanku teh... Ini terjadi selama bertahun-tahun, hingga aku memasuki masa pubertas, dimana pada masa-masa itu seorang pengidap asma bisa dikatakan sembuh untuk sementara, dan baru kambuh kembali ketika masa tuanya datang.

Selama masa-masa itu beliau tak pernah lupa mengingatkanku bahwa asmaku bisa kambuh kapan saja. Entah itu karena debu, udara, hujan, makanan, minuman, atau lainnya. Ketika dia melarangku makan es, aku malah semakin tergoda melanggar larangannya. Ketika ia melarangku hujan-hujanan, aku malah berteriak padanya, “teman-temanku tak pernah dilarang oleh orang tuanya seperti aku, aku ingin seperti mereka, aku ingin jadi seperti anak-anak biasa!”. Aku tak pernah tahu bahwa larangannya semata-mata untuk membuatku bahagia, agar aku tidak menderita. Aku tahu aku telah melukai hatinya.

Masih pada waktu dulu sekali. Aku ingat ketika pertama kali masuk TK. Beliau memasukkanku ke TK Pertiwi. Pada minggu-minggu awal sekolah, ketika ia membangunkanku di pagi hari, aku berbohong padanya. Aku katakan bahwa aku sakit perut dan tidak bisa masuk sekolah, padahal aku malas bertemu teman-teman dan guru, juga suasana TK Pertiwi yang menurutku waktu itu tidak begitu menyenangkan. Ia percaya. Ketika ia berangkat ke kantor, aku bangun dan sehat. Akhirnya beberapa waktu kemudian aku dipindahkan ke TK An Nur, dekat rumah. Aku senang di sana, banyak teman dan suasananya menyenangkan. Masih ingat aku pada hari-hari pertama aku bersekolah di sana. Dengan seragam kantornya yang rapi, beliau setia berdiri memandangiku dari jendela, membuatku merasa aman dan nyaman dengan kehadirannya. Tak pernah ia mengeluh bahwa dia harus bolos kerja. Tak pernah ia perhitungkan betapa lelahnya ia ketika harus mengantar jemputku setiap hari, juga membuatkan bekal untuk kumakan di sekolah. Tapi apa yang kulakukan? Aku menangis ketika ia terlambat menjemputku. Aku berbohong ketika aku malas ke sekolah. Aku tak menghabiskan bekal yang dibuatkannya untukku, juga tak pernah mengatakan betapa itu menghindarkanku dari rasa lapar. Aku tahu aku telah melukai hatinya.

Ketika tiba saatnya aku masuk SD, ia juga lah yang mengurus segala keperluanku. Mulai dari pendaftaran, buku2, peralatan, pakaian, semuanya. Hingga ke hal-hal kecil seperti menyampul buku, atau mengikatkan tali sepatu. Suatu waktu, ketika aku ikut kegiatan pramuka, beliau keliru membelikan aksesoris pramuka untukku. Yang seharusnya berwarna biru, ia belikan merah (atau sebaliknya, aku pun lupa). Teman-teman menertawaiku, dan aku menyalahkan beliau. Aku marah-marah padanya. Padahal dia sudah berusaha memenuhi keperluanku yang lain, semuanya. Dan untuk yang satu itu, ia khilaf. Apa yang aku lakukan? Aku tidak memakluminya sedikitpun. Aku tahu aku telah melukai hatinya.

Suatu ketika, beliau harus dioperasi karena ada tumor kecil diperutnya. Aku sedih dan takut. Ketika ia sudah boleh keluar dari rumah sakit, aku dan keluarga bukan main senangnya. Pada masa-masa itu aku kerap kali bertengkar dengan kakak-kakak ku, Bangli dan Kak Mimi. Suatu hari ketika ibu masih dalam masa penyembuhan dan butuh istirahat yang cukup, aku dan kak Mimi bertengkar hebat, hampir setiap hari. Ibu melarang, bahkan memarahi. Tapi telinga kami berdua seakan tuli. Hingga akhirnya ibu marah sambil menangis, menyesalkan perilaku kami yang sama sekali tak mengerti tentang keadaannya. Tentang betapa ia ingin situasi yang tenang untuk berisitirahat. Tentang betapa ia ingin anak-anaknya rukun satu sama lain. Aku masih ingat benar tangisan pilu itu, yang bahkan pada waktu itu sangat menyayat bagiku. Aku tahu aku telah melukai hatinya.

Ketika masa SMP tiba, ia masih tetap setia mendampingiku. Mendaftarkanku, memenuhi keperluan-keperluanku. Tapi tidak lagi menyampulkan buku atau mengikatkan tali sepatu. Pada masa-masa ini beliau seringkali membelikanku perlengkapan atau pakaian. Karena aku sudah cukup besar, aku merasa sudah bisa memilih barang yang bagus dan yang tidak. Ketika ia membelikan baju, aku bilang baju itu jelek dan aku tak mau memakainya. Ketika ia membelikanku sebuah jam beker, aku bilang itu terlalu kekanak-kanakan dan tak sudi meletakkan jam itu di kamar. Beliau selalu ingin membahagiakanku. Tapi apa yang aku lakukan? Aku tak menghargai usahanya, aku malah menolak mentah2 pemberiannya. Aku tahu aku telah melukai hatinya.

Ketika SMA, aku mau tak mau harus berpisah dengan beliau. Hidup di asrama yang jauh sekali dari rumah, tanpa ia mendampingiku. Satu bulan lamanya aku terisolir dari dunia luar, mengikuti peraturan sekolah agar aku bisa hidup mandiri. Aku masih ingat ketika masa satu bulan itu akhirnya tiba, beliau menjemputku, dan tak terkira senangnya ketika aku bisa melihatnya lagi. Aku cium tangannya. Ingin sekali kupeluk dirinya seandainya aku hanya berdua dengannya. Sekilas aku melihat air mata menggenang di bola matanya. Ia menceritakan betapa selama ini dia dan ayah tak pernah bisa tidur nyenyak memikirkan aku.
Pada masa-masa awal SMA ku, beliau mengirimiku paket yang berisi berbagai keperluanku. Beliau takut aku akan kesulitan hidup tanpanya. Bersama itu ia menyertakan sebuah surat yang berisi nasehat-nasehat yang tak sempat disampaikannya ketika kami berpisah. Mataku basah membacanya. Ia tak pernah berhenti memberikan perhatiannya padaku. Bahkan ketika ia tak bisa lagi mendampingiku dari dekat.

Suatu ketika ibu mengirimiku sebuah paket yang sangat besar, berisi makanan dan keperluan lainnya. Tapi apa yang kulakukan? Aku marah-marah. Aku katakan aku tak mau lagi menerima paket seperti itu, membuatku tampak seperti anak manja di mata teman-temanku. Aku malu. Aku sama sekali tak menghargai usahanya untuk membuat hidupku jadi lebih mudah. Aku tahu aku telah melukai hatinya.

Ketika aku lulus SMA, beliau memberikan saran-saran tentang rencana kuliahku. Namun ia tak pernah memaksakan kehendaknya, dan mendukung setiap rencanaku. Beliau memberiku semangat ketika aku ikut USM ITB, juga UM UGM. Ia selalu membesarkan hatiku ketika aku gagal. Ia selalu sigap mengirimkan berkas-berkas yang aku perlukan untuk pendaftaran universitas. Mulai dari akte kelahiran, Surat Keterangan Keluarga, surat keterangan dokter, dan lain-lain. Semua itu dilakukannya demi aku, agar aku bisa melanjutkan pendidikan, agar aku jadi orang.

Ketika pertama kalinya aku datang ke UI, beliau pun turut serta mendampingiku bersama ayah. Ia membantuku membawa barang-barang, melengkapi keperluan-keperluan. Tapi apa yang kulakukan? Aku katakan padanya bahwa aku bukan anak kecil lagi. Aku malu dibuntui terus. Aku tak perlu lagi didampingi kemanapun aku pergi. Aku tak senang beliau memperlakukanku seperti anak kecil yang tak pernah berpisah dari orang tuanya. Padahal ia melakukan itu semata-mata karena mengkhawatirkanku. Aku tahu aku telah melukai hatinya.

Hingga sekarang beliau tak pernah bosan untuk membuatku bahagia. Dan aku tahu ia tak akan pernah berhenti mencurahkan kasih sayangnya kepadaku. Di masa yang akan datang, dia akan terus menjadi malaikat di sisiku. Mendampingiku kelak ketika aku wisuda, ketika aku melanjutkan kuliahku, ketika aku mendapatkan pekerjaanku sendiri, ketika aku menikahi istriku, ikut membesarkan anak-anakku... Betapa terkutuknya aku seandainya sekali saja aku menyakiti hatinya lagi. Tidak, tak akan pernah lagi.

Jasa-jasa beliau sama tak terhitungnya dengan dosa-dosa yang telah aku lakukan padanya. Aku mengucapkan terima kasih yang sama banyaknya dengan maaf yang harus kukatakan.
Aku ingin ia tahu bahwa aku sangat mencintainya. Aku ingin ia tahu bahwa aku meneteskan air mata hampir pada setiap paragraf yang kutulis di sini. Aku ingin ia tahu aku menyesal telah melukai hatinya berkali-kali.

Mom, I love you...


Your son.

4 comments:

rohul said...

kami segenap keluarga besar ppstd rohul dengan ini menyatakan kekaguman kami yang setinggi-tingginya atas tulisan yang telah dibuat pada blog ini.serta telah menjadi inspirasi bagi kami terutama tentang menghargai orang tua..
hal-hal tentang gaya bahasa dan lain sebagainya akan di selesaikan secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

jakarta 29 maret 2008
atas nama PPSTD ROHUL
RIZAL
RALPY
ERSAL

SARAN:
TOLONG LAMPIRKAN KISAH-KISAH CINTA R 2 M

Gaga said...

Assalamualaikum... SUBHANALLAH...InsyaALLAH...Setiap Ummi akan memaafkan anak-anaknya dan memohonkan ampun bagi anak-anaknya kepada ALLAH Yang MAHA PENGAMPUN.....
Semoga Setiap detik ke depan adalah untuk bahagiakan KeduaOrangtua, Amiiin...

Unknown said...

tulisan yg bgs..
huhuhu...jd inget jg dah srng nyakitin nyokap...
slm kenal bwat nyokap km...

er2m said...

Selalu menangis tiap kali membaca tulisan ini. I love you, mom..